;
Home » , » Aku Bukan Teroris - 5

Aku Bukan Teroris - 5

Ternyata ibu pun tak tahu. Sebab, setiap kali ibu mendekat, mereka selalu mengubah topik pembicaraan. Itu jelas sekali terlihat. Biasanya, jika awalnya terlihat bisik-bisik, ketika mengubah topik pembicaraan, mereka akan mengutarakannya secara lebih keras, seolah-olah ingin memberitahukan kepada ibu bahwa mereka tidak sedang membicarakanku.

Aku tentu saja tak bisa menyalahkan mereka. Hanya saja, aku penasaran, apa yang sesungguhnya mereka bicarakan. Terlebih lagi, sejak hari pertama itu, sikap mereka terhadapku benar-benar berubah. Dari ekor mataku, aku bisa melihat, tidak sedikit di antara mereka mencibirku. Ironisnya mereka tidak pernah terang-terangan melakukan itu di depanku. Hal itu yang tak pernah bisa kumengerti.

Baru tiga hari kemudian, putriku sambil tergopoh-gopoh menanyaiku. Pertanyaan yang sama sekali tak pernah kusangka. Pertanyaan yang sekaligus menjawab rasa penasaranku selama ini. Dengan lidah yang belum lancar melafalkan huruf “r”, putriku bertanya, ”Umi, kata olang-olang Umi telolis. Telolis itu apa sih?”   2. Lelaki Cahaya

Kuala Lumpur 1996

AKU mematung melihatnya. Tak ada kata-kata yang mampu mewakili keindahan yang dimilikinya. Justru kebisuanlah yang kurasa mampu mengungkapkannya. Ya, kebisuan. Diam. Sebab – setidaknya menurut pemikiranku – kata terlalu terbatas untuk menggambarkan sebuah keindahan hanya sebatas fisik belaka. Dengan kata, keindahan hanya terbingkai pada dimensi wujud. Namun diam, rasanya mampu menembus dimensi keempat yang bisa menguak makna sesungguhnya.

Keindahan itu terpancar benar lewat sikap, perilaku dan tabiatnya. Keindahan itu juga tersinar lewat sorot matanya. Aku takjub. Aku bertekuk lutut, lazimnya remaja belasan tahun yang tersihir oleh pesona seorang lawan jenisnya. Aku jatuh cinta. Rasa itu sungguh tak mampu kusembunyikan. Ironisnya, tak mungkin pula aku mengungkapkannya begitu saja. Ada tembok sangat kokoh dan tinggi yang membatasi kebebasanku. Tembok itu adalah norma, etika dan kesopanan. Aku lantas mengutuki diriku.

Mengapa aku harus terbingkai pada sosok seorang perempuan yang harus selalu menunggu dan menunggu?

Mengapa harus dianggap tabu ketika seorang perempuan mengumbar begitu saja perasaannya, kendati perasaan itu sesungguhnya penuh kejujuran?

Padahal cinta bukan sebuah perbuatan dosa. Cinta adalah sebuah rasa yang membedakan manusia dengan mahluk-mahluk lainnya. Dan cinta pun sebuah anugerah dari Sang Mahapencinta.

Ia selalu tersenyum manakala kami bersitemu. Hanya senyum itu yang bisa ia berikan. Selebihnya, ia memilih menunduk. Seolah tak ingin berlama-lama beradu pandang denganku. Ia lantas selalu saja bersibuk-sibuk dengan Gamal, sepupuku yang juga sahabatnya. Meski ia selalu melakukan itu, namun aku tahu, ada tingkah yang terasa salah padanya. Jika sudah begitu, mereka kemudian pindah dari ruang mushola ke kamar Gamal. Bisa berlama-lama mereka berdua di sana.

“Namanya Muslihin jika kau ingin tahu,” sepupuku Gamal seolah memahami kegelisahan yang kurasakan.

Ia tersenyum manakala mengucapkan kalimat itu.

Senyum yang seakan-akan menggoda dan memberitahuku bahwa dirinya tahu apa yang ingin kuketahui.


Online

Artikel Menarik Lainnya: