;
Home » , » Puisi-puisi Bahauddin

Puisi-puisi Bahauddin

Nirwana

Tersimpan ranting kelam terkubur dalam suara, dibisikkan melalui sunggingan seringai serigala, yang tak larut tersapu angin bening. Benih-benih kerikil tajam tersebar mengitari perjalanan terdahulu. Hilanglah dalam bara! Enyahlah dari jiwa!

Jangan percaya pada liku kelam yang tak akan kau temui. Daun kupu-kupu bertopeng warna-warni terjepit antara hijau kelopak mata. Bisikan rongga dada, alunan aneka aroma, termangu dalam sentuhan peri daun kaldu.

Dari titian beralas daun kenduri perjalanan akan dimulai. Perjalanan keheningan menjemput kedamaian. Untuk hangat pelukNya, untuk lelap di pangkuNya.

Montag Nachmittag

Aku lupa nama matahari yang menghampiriku kemarin sore. Bukannya mulutnya sobek begitu saja dari secangkir roti. Dia mempergumulkan dirinya sendiri melebihi kiamat amatir saudara-saudara kita. Dia mengemis menjumpai karma tuhan. Tapi sujudku tak menerimanya di sepuluh jari. Aku hanya tak berkata apa-apa saat ia datang.

Aku tak mendengar lonceng biara dibunyikan lebih kencang dari yang pertama. Malam selasa sudah yang kesekian kalinya sejak sebutir tinta menanam pohon. Dan kini rantingnya sudah habis sedemikian rupa.

Kemarin sore, kau tahu, ada yang menghampiriku di pertengahan jendela. Wujudnya tak berpiring lagi. Kudengar ia menulis namamu di bibirnya.

Frage

Kebenaran tak lahir dari persimpangan telur ayam, dibumbui dengan gincu, dan dimasak dalam perlombaan sopir taksi. Kau harus mengikat erat kesemua bola matamu kesegala sepuluh penjuru, dan memberikan ujung peluru pada orang yang sama dari awal cerita.

Di halaman pertama kau akan dapat mengukur sisi ruas jendela. Halaman berikutnya kau berenang menggenangi sisi atap laba-laba, atau masuk memata-matai setiap pembulu darah dalam perkumpulan serat biji-bijian.

Yang harus kau ingat, kawanku plato, kita akan menemuinya nanti, yang telah menanami bulu pada domba-dombanya. Kau dan aku nanti bertanya bagaimana menghitunginya satu per satu. Kepada dia yang hanya dia yang tahu.

Sepuntung Ranting Berdua-Stroberi

Segumpal januari tersimpan kental di pelabuhan kenari musim kemarau. Hamparan kuning cerpelai menarinari di buritannya, bersamaan lahirnya ayah kita di sepanjang hari mandi cahaya. Pelukan jarijari manis dikelilingkan seluas punggung dan dada.

Mari kita bayangkan purnama akan datang tepat waktu malam ini. Dan tanganmu tak akan sendirian di tanganku. Akan kutemani dalam taritarian tango dan remo. Mari kita susuri pesisir amazon dan ngarai semeru. Tapi tanganmu cukup di tangan kananku saja. Harus kunikamati tangan lainnya di tangan kiriku.

Andai tak ada yang datang tepat waktu malam ini selain diriku dan hatimu? Mari kita bayangkan saja. Tentu tak akan tergugurkan semua dedaunan ke lembah kering di halaman depan istana. Tentu mawar tak akan jadi layu jadi puing-puing di reruntuhan jogjakarta. Lalu seekor harimau siberia ikut berlari dalam taritarian sederhana. Mengiring laju kereta kopi ke musim kemarau pertamamu. Tapi kau tak akan sendirian di hatiku, warnamu bukan satu-satunya.

Andai kau ijinkan kupetik bersamaan, tentunya.

Bahauddin, lahir di Malang 22 Juni 1990. Mahasiswa Sastra Jerman Universitas Negeri Malangm aktif di UKM Penulis Malang.


Online

Artikel Menarik Lainnya: