;
Home » , » Aku Bukan Teroris

Aku Bukan Teroris

Gamal adalah putra pamanku, dan paman adalah sepupu ayahku. Setelah bertahun-tahun sengaja tak saling bertegur sapa dan berkirim kabar – yang konon kabarnya untuk saling menjaga keselamatan diri masing-masing – baru tiga tahun terakhir ini paman menguak kembali pintu silaturahmi. Saat itu, pendidikan SMP sudah kulewati. Dan itu merupakan pendidikan tertinggi yang bisa kugapai. Ayah yang sakit-sakitan tak lagi mampu memberiku bekal pendidikan yang lebih tinggi lagi.

Ketika sepucuk surat dari paman hadir, seketika itu juga ayah menginginkan aku tinggal bersama paman. Tentu saja kutolak keinginan itu. Aku tak ingin – lebih tepatnya tak tega – jika ayah hanya tinggal berdua bersama ibu. Aku ingin membantu meringankan beban hidup mereka. Bahkan jika perlu, aku bersedia bekerja apa saja, asalkan halal. Namun ayah bersikukuh pada pendiriannya.

“Tak ada yang bisa kaukerjakan di sini, Abidah. Banyak serigala yang mulai mengintai dan telah siaga untuk menerkammu sewaktu-waktu. Seyogyanyalah kau tinggal bersama pamanmu. Di sana, kau bisa mewujudkan apa pun keinginanmu. Apa pun mimpimu. Dan yang lebih penting lagi, ini sudah menjadi keputusan Ayah!”

Aku hanya bisa diam dan menunduk jika ayah sudah bicara dengan tegas semacam itu. Bagi ayah, ketegasan itu berarti harga mati yang tak boleh dibantah oleh siapa pun. Dan aku, tak ingin menjadi anak yang mendurhakai ayah. Aku tak ingin menjadi makmum yang mengecewakan imamnya.

Berbekal sebaris alamat yang kusobek dari sampul surat, kuseberangi lautan, kubelah gelombang, kususuri sebagian kecil sebuah dunia, menuju ke sebuah lorong indah di belahan salah satu kota modern bernama Kuala Lumpur. Aku terkesiap melihat gedung-gedung tinggi yang seakan-akan menjadi paku raksasa yang tertancap kokoh di atas bumi. Aku terkesima melihat lampu-lampu kota yang seperti kunang-kunang, berpendar indah mengisi malam. Sangat jauh berbeda dengan yang kulihat selama ini di kampungku, sebuah kampung kecil di wilayah Pidie. Bukan gedung-gedung tinggi yang kusaksikan setiap hari, melainkan tumpukan senapan laras panjang yang ditata mengerucut layaknya sebuah kayu bakar yang siap dijadikan api unggun dalam sebuah kegiatan perkemahan Pramuka. Bukan lalu-lalang mobil yang hilir mudik, melainkan sebarisan orang-orang berpakaian sama, loreng-loreng dan memanggul senapan. Wajah mereka tak bengis, namun juga tak bisa dibilang ramah. Mata mereka menatap curiga kepada siapa pun yang mereka temui sepanjang jalan. Kepada kami, mereka selalu bertanya tentang satu kata yang selalu sama, yang belum kukenal maknanya: GPK.

Biasanya kami hanya bisa menjawab dengan gelengan kepala tanpa perlu mengucap sepatah pun kata. Jika bicara, kami takut salah ucap. Sebab salah kata bisa membuat kami tak ubahnya seorang pendosa yang harus merasakan kejamnya neraka jauh sebelum saatnya. Pernah kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri, seorang tetangga yang usianya sebaya dengan ayah merasakan neraka itu. Suatu sore ia didatangi sebarisan orang berpakaian loreng itu. Mereka membawanya pergi entah kemana menggunakan sebuah truk besar. Kulihat ada beberapa orang lain di atas truk itu. Nyak Umar, lelaki seusia ayah itu hanya diam pasrah. Namun istrinya berteriak-teriak histeris. Ia seperti mengutuki rombongan pembawa suaminya itu. Ia menghardik dengan bahasa Aceh. Yang kutahu, dua pekan kemudian kulihat Nyak Umar sudah kembali berada di rumah. Bedanya, jika sebelum dijemput ia sering kulihat meladang, kali ini ia hanya terbaring di balai-balai di teras rumahnya. Ia tak kuat lagi berjalan. Kedua tulang di kakinya seakan sudah tak mampu menahan berat tubuh yang sesungguhnya tak seberapa itu. Dari orang-orang pula kutahu, Nyak Umar lumpuh sepulang dari pos.

Entah pos apa yang dimaksud.

Sejak itu, aku memilih diam manakala berpapasan dengan mereka. Aku memilih tak melihat, seolah-olah tak ada mereka di hadapanku. Aku tak ingin terseret pada arus yang tak kuketahui muaranya. Setiap kali melihat mereka, aku selalu menunduk. Bahkan melirik pun aku tak punya nyali.

Namun sejak tiga tahun silam, aku tak pernah lagi melihat pemandangan itu. Yang ada di depan mataku sebarisan keindahan yang jauh di luar jangkauan anganku sebelumnya. Aku melihat dua buah gedung dengan tinggi dan bentuk yang sama yang belakangan kutahu namanya Menara Kembar. Aku sering berlama-lama menatapnya. Aku melihat lalu-lalang orang-orang yang santun dan teratur.

“Tinggallah di sini selama kau ingin,” paman menyambutku dengan suka cita.

“Terima kasih, Paman. Saya harap kehadiran saya tidak membuat paman terusik.”


Online

Artikel Menarik Lainnya: